Aku menikmati sore ini, bersama kopi panas yang baru kuseduh. Getirnya tercecap dalam tiap teguk. Ada tawa, kebersamaan, dan keceriaan yang teraduk didalamnya. Bahkan wangimu pun, menyatu dalam cangkir kopiku.
Judul : Sky Burial (pemakaman langit) Pengarang : Xinran Penerjemah : Ken Nadya Penerbit : Serambi Ketebalan : 286 halaman Ini pertama kalinya saya membaca novel yang bercerita tentang budaya Tibet. Pada novel setebal 286 halaman ini mampu tergambar ragam budaya dan corak kehidupan masyarakat Tibet kala itu. Termasuk salah satunya adalah tradisi pemakaman langit, SKY BURIAL.
Novel ini mengambil latar belakang negeri China pada tahun 1958. Diawali oleh sepasang suami istri, Kejun dan Shu Wen yang harus rela terpisah karena Kejun harus ditugaskan sebagai dokter yang membantu Tentara Pembebasan Rakyat di Tibet. Sosok Kejun digambarkan sebagai seorang lelaki tangguh, ceriwis, dan memancarkan hasrat hidup yang begitu kuat. Lewat dua bulan, Shu Wen menerima pemberitahuan bahwa suaminya tewas saat berdinas disaat usia pernikahan mereka belum genap 100 hari. Shu Wen tak sudi menerima kematian Kejun begitu saja, terlebih di markas besar militer tak seorang pun dapat memberikan keterangn bagaimana suaminya meninggal. Satu-satunya solusi yang terfikir oleh Shu Wen adalah berangkat sendiri ke Tibet untuk mendapatkan informasi mengenai suaminya.
Perjalanan Menuju Tibet Inilah awal dari perjalanan panjang Shu Wen. Diawali dengan kedatangannya di markas besar militer Zhengzhou. Pada halaman ini diulas sedikit mengenai hidangan sarapan ala utara : Semangkuk hulatang-sup lengket dari teung dan sayuran hijau yang dicacah serampangan dan direndam cuka, jeroan babi, dengan sambal bubuk melimpah. Ada juga kue tepung jagung yang panas dimulut; dan butiran acar yang sangat kecut dari daun mostar, disebut "geda". Berangkatlah Shu Wen dan ratusan prajurit lainnya menuju Tibet menggunakan kereta sederhana pengangkut barang yang setiap gerbongnya disesaki hampir seratus orang yang berjejalan. Keganasan alam pedalaman Tibet bukanlah satu-satunya teror yang dialami Shu Wen dan para prajurit Tentara Pembebasan Rakyat. Ditengah perjalanan, setiap harinya dua orang dalam pasukan terbunuh dengan belati menancap ditubuh mereka.
Tibet dan Pemakaman Langit Zhuoma adalah seorang wanita bangsawan Tibet berusia 21 tahun. Ia mencari kekasihnya, Tiananmen. Bersama Zhuoma yang senasib serupa dengannya dan sebuah keluarga nomadik, Shu Wen treus berkelana mencari Kejun. Ada beberapa budaya yang dijelaskan disini, termasuk bahwa perempuan Tibet boleh memiliki beberapa suami dan tradisi pemakaman langit. Untuk prosesi pemakaman langit, jenazah dibawa diatas bukit kemudian dipenggal-penggal dan ditinggalkan disebuah altar di gunung agar menjadi santapan burung pemakan bangkai. Disebutkan bahwa pemakaman langit di Tibet hanyalah sebentuk perwujudan harmoni antara langit, bumi , alam dan manusia.
Dibalik rasa kehilangan, kecewa, dan keterasingan, Shu Wen banyak belajar tentang budaya luhur Tibet yang mengedepankan keselarasan antara manusia, alam, dan spritualitas. Selama 30 tahun lebih, pengelenaan Shu Wen di Tibet demi mencari Kejun yang tadinya kelam menuju pencerahan.
Heeemph... saya rasa novel ini lebih dari sekedar menarik serta recomended. Bahwa kekuatan cinta yang tulus mampu mengubah segalanya.....
Pernahkah berfikir, mengapa segala yang tercipta di dunia selalu memiliki perbedaan? Saya rasa mustahil mencari sebuah kesamaan yang absolut diantara dua hal, meskipun serupa.
Kenapa harus ada malam yang gelap dan dingin, jika siang begitu menyenangkan. Karena malam memberi kita kesempatan untuk rehat setelah aktivitas panjang di siang hari dan memulihkan tenaga untuk beraktivitas lagi esok hari.
Kenapa harus ada si miskin, jika si kaya hidup serba berkecukupan. Agar si kaya belajar berbagi untuk si miskin, dan mereka saling melengkapi.
Segala perbedaan menjadikan komposisi yang saling melengkapi. Menutup kekurangan yang satu dengan kelebihan yang lain, begitu pula sebaliknya. Seperti sebaris partitur yang berbeda nada, namun mampu mencipta melodi yang indah.
kebersamaan dalam perbedaan, mungkin hidup akan lebih menyenangkan jika kita mampu menyelaraskan segala perbedaan tersebut. Tetap membaur dalam perbedaan tanpa perlu mempermasalahkan segala yang tak sama. Menghargai ketidak sempurnaan, karena membuang waktu percuma jika ingin menuntut kesempurnaan. Semuanya bersinergi, seperti malam yang mengganti siang atau mentari yang menggeser rembulan. Semuanya menempati porsi dan fungsinya masing-masing, meski berbeda........