Senin, 30 Oktober 2017

Berburu bubur opak Bandungan

Oktober 30, 2017 5 Comments
bubur opak samier bandungan
Bubur Opak Bandungan
BUBUR OPAK
Tak lengkap rasanya membahas pariwisata di Kabupaten Semarang tanpa menyinggung sedikit tentang wisata kulinernya. Seperti halnya Solo yang punya cabuk rambak sebagai kuliner legendaris. Kabupaten Semarang juga tak mau kalah. Kita punya bubur samier atau lebih dikenal dengan bubur opak. Jika biasanya bubur disajikan diatas piring atau mangkuk, menariknya di Bandungan kita akan menemukan bubur beralas opak. Opak adalah semacam kerupuk bulat pipih yang terbuat dari singkong yang ditumbuk.

Bubur beras yang masih panas, kemudian disajikan diatas opak dan diberi lauk sesuai keinginan pembeli. Lauk bubur opak ini macam-macam. Pecel, cap cay kampung, mie goreng, sayur gori (nangka muda), dan aneka baceman adalah menu pendamping yang biasanya tersedia. Cara makannya unik. Memang penjual menyediakan sendok plastik, namun kita bisa mencuil sedikit demi sedikit pinggiran opak untuk menyuap bubur. Setelah bubur dan lauk habis, terakhir tinggal menyantap 'piring opaknya'.
bubur opak samier bandungan
Jangan membayangkan tempat makan mewah jika ingin mencicipi bubur opak. Karena lokasinya hanya dipinggir jalan. Pedagang biasanya hanya menggelar dagangannya diatas meja. Jika beruntung, pembeli bisa duduk di bangku plastik yang jumlahnya terbatas. Jika tidak, siap-siap bersantap sembari berdiri ya. Membeli bubur opak dipagi hari juga harus sabar mengantri dengan pemburu sarapan yang lain. Selain penduduk sekitar, pembelinya kebanyakan adalah para ibu-ibu pedagang pasar Bandungan dan wisatawan. Menyantap bubur opak dan teh manis hangat ditengah hawa dingin Bandungan memang pilihan yang tepat.
bubur opak samier bandungan
Ibu Sumiyati
Ibu Sumiyati, merupakan salah satu pedagang bubur opak di Bandungan yang telah berjualan selama lebih dari 30 tahun. Dalam sehari beliau dapat memasak hingga 12 kg bubur. Pembagiannya, 7 kg untuk berjualan pagi dan 5 kg untuk sore hari. Menurut cerita beliau, proses pembuatan bubur sudah dimulai sejak pukul 01.00 dini hari. Bahkan untuk lauk bacem (tahu, tempe, telur) sudah direndam bumbu sejak sore harinya, sehingga bumbu benar-benar meresap. Memang terlihat dari warna bacemnya yang kecoklatan dan mengkilat, menandakan proses dan waktu masak yang tepat. Tekstur buburnya sedikit berbeda dari bubur ayam yang cenderung lebih encer dan lembut. Bubur opak sedikit lebih padat, dengan gurih santan kelapa yang sangat terasa.
kecamatan bandungan
Lokasi lapak bubur opak tepat di depan Kecamatan Bandungan ya
Mencari kuliner ini susah-susah gampang, karena tidak setiap waktu ada. Ibu Sumiyati sendiri berjualan 2 kali dalam sehari, Senin hingga Minggu. Lokasi berjualannya pertigaan pasar Bandungan, dekat Rumah Makan Rina Rini Bandungan. Untuk pagi mulai pukul 05.00 dan biasanya sudah habis sebelum pukul 07.00. Bu Sumi akan kembali berjualan di sore harinya, antara pukul 15.00 hingga pukul 17.00. Khusus di hari Minggu, beliau hanya buka lapak dipagi hari saja. Untuk itu, jika berencana menjadikan bubur opak sebagai menu sarapan sebaiknya datang lebih pagi agar tidak kehabisan.

Beruntung saya masih mendapat porsi terakhir saat kesana. Pembeli yang datang setelah saya, tentu harus gigit jari. Selain Bu Sumi, juga ada beberapa penjual bubur opak lain di kawasan pasar Bandungan. Menu dan lauk pelengkapnya kurang lebih sama. Untuk harga, jangan khawatir tidak akan merusak dompet. Saya cuma mengeluarkan Rp 7500 untuk seporsi bubur opak tanpa sayur dengan lauk telur bacem dan segelas teh manis hangat.



Kamis, 26 Oktober 2017

Begini pesona alami Curug Semirang

Oktober 26, 2017 0 Comments

curug semirang ungaran
Pintu masuk dan loket Curug Semirang
Bagi warga Kabupaten Semarang, khususnya Ungaran, tentu sudah tidak asing dengan keberadaan Curug Semirang. Beberapa tahun lalu ketika gerak laju perkembangan wisata daerah belum begitu terasa seperti saat ini, Semirang sempat menjadi primadona dan jujugan wisata murah meriah bagi warga sekitar. Curug ini relatif mudah ditemukan. Terletak di Dusun Gintungan, Desa Gogik, Kecamatan Ungaran Barat. 
curug semirang ungaran
Tiket untuk cuci mata lihat pohon di hutan
Ketika saya kesana September 2017 kemarin, harga tiketnya Rp 6000 per orang. Sedangkan biaya parkir Rp 2000 per motor. Track Semirang tergolong tidak terlalu ekstrim. Jalurnya sudah jadi dan tertata. Tidak heran, mengingat Curug Semirang termasuk 'obyek wisata lama' di Kabupaten Semarang. Meski jalurnya mayoritas landai, namun ada juga beberapa spot yang lumayan membuat ngos-ngosan. Tidak perlu khawatir, pada jalur yang curam, pengunjung cukup terbantu dengan undak-undakan batu yang ditata sedemikian rupa oleh pengelola. Walau begitu, jangan diremehkan ya, bermain dengan alam tetap tidak boleh sembrono.
curug semirang ungaran
Simbah ini, meski sudah sepuh danberjalan tertatih namun masih semangat
Stamina optimal serta cuaca yang mendukung menjadi syarat utama ketika ingin berwisata alam seperti ini. Sebaiknya kenakan pakaian serta alas kaki yang nyaman dan sesuai medan. Soalnya waktu itu saya berpapasan dengan sekelompok remaja putri yang hendak berwisata juga, mereka mengenakan dress dan wedges shoes untuk naik ke lokasi curug. Duhh ..

Saran saya jika ingin berwisata ke Curug Semirang, datanglah pagi dan jangan terburu-buru ingin mencapai spot air terjunnya. Karena bagi yang sudah pernah singgah di beberapa obyek wisata air terjun lain dengan debit air yang lebih besar, mungkin akan menganggap Curug Semirang tidak terlalu istimewa. 
curug semirang ungaran
Jalurnya tidak melulu menanjak, beberapa bahkan ada yang datar dengan diapit pepohonan raksasa dikanan dan kiri
Nikmati saja perjalanannya dengan santai. Mumpung bisa menghirup udara bebas dan manjakan mata dengan rimbun pepohonan. Toh tidak setiap hari kan kita bisa melihat dan berada di tengah hutan.
curug semirang ungaran
Bagi saya, yang menjadikan suatu perjalanan menjadi menarik adalah perjumpaan dengan hal baru, orang baru, dan tentunya pengalaman baru. Ditengah perjalanan, saya bertemu dengan seorang ibu paruh baya. Beliau adalah salah satu penjual makanan di lokasi Curug Semirang dan sudah berjualan selama kurang lebih 23 tahun. WOW. Bukan waktu yang singkat. Mengingat medan yang harus dilalui, ditambah masih membawa beban di punggung. Untuk itu harap maklum jika mungkin harga makanan atau minuman disini sedikit lebih mahal. Perjuangan ibu-ibu pedagang ini untuk naik dan turun areal Curug Semirang tidak bisa dikatakan mudah. Yah hitung-hitung berbagi sedikit rezeki titipan untuk mereka.
curug semirang ungaran
Areal di sekitar ekowisata yang dikelola oleh Perhutani ini, terbilang cukup bersih. Pada beberapa batang pohon tergantung ember bekas yang difungsikan sebagai tempat sampah. Di dekat pintu masuk juga telah tersedia toilet dan mushola sederhana. 
curug semirang ungaran
Sayangnya kelengkapan sarana hanya ada di area bawah. Setengah perjalanan sebelum mencapai lokasi air terjun, kita akan temui fasilitas toilet yang mangkrak. Bolong, karena atap dan pintunya sudah tidak ada. Bahkan sebagian bangunan telah ditumbuhi semak. Terkesan memang sengaja tidak difungsikan. Menurut saya tidak masalah. Posisi toilet yang berada di tengah jalur pendakian, memang minim pengawasan. Berpotensi digunakan untuk aktifitas yang tidak semestinya. Namanya manusia ya, akalnya ada-ada saja kan?
curug semirang ungaran
Curug Semirang
Setelah berjalan santai selama kurang lebih 40 menit serta melewati tanjakan terakhir yang cukup curam dan licin, akan diperoleh apa yang diincar sejak dari pintu loket. AIR TERJUN SEMIRANG telah nampak di depan mata. Lelah berjalan sejauh kurang lebih 900 meter terbayar dengan gemericik air terjun dan sejuknya nuansa alam.
curug semirang ungaran
Ada yang bisa nolak?
Jika haus dan lapar, tapi tidak membawa bekal, tenang saja diatas ada beberapa warung semi permanen yang menjajakan aneka minuman, gorengan, dan mie instan. Percayalah, mie instan merk apapun akan terasa lebih nikmat jika disantap panas-panas ditengah kesejukan alam terbuka seperti ini.
Ketika obyek wisata lain berlomba-lomba mengedepankan icon wahana selfienya, Semirang tetap  dengan tampilan yang sederhana, alami, dan natural. Traffic pengunjung berkurang, bisa jadi merupakan konsekuensi logis ketika suatu obyek wisata tidak ikut trend saat ini. Penambahan spot selfie  yang unik mungkin bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
curug semirang ungaran
Kesimpulannya, dengan keanekaragaman hayati yang dimiliki, Semirang masih layak dan mampu menjadi salah satu destinasi wisata andalan Kabupaten Semarang. Tentunya dengan berbagai pembenahan yang lebih optimal.


Jadi tunggu apalagi, ayo dolan Semirang ....

Minggu, 20 Juli 2014

Sepotong cerita dari Lasem #2

Juli 20, 2014 0 Comments
Nah yang ini adalah lanjutan cerita saya sebelumnya, masih tentang kelenteng dan pojok2 Lasem. Di Lasem sendiri ada 3 kelenteng tua. Salah satunya sudah saya ceritakan disini. Sayangnya saya hanya sempat mengunjungi 2 kelenteng saja. Kurang lengkap ya rasanya? Tapi tak apalah, mungkin lain waktu saya akan datang lagi kemari.

Kelenteng Gie Yong Bio, Lasem

Ornamen diatas pintu gerbang Kelenteng Gie Yong Bio
Sesuai keterangan, bahwa kelenteng ini didirikan pada tahun 1780. Untuk menghormati 3 karib tokoh masyarakat Lasem. Salah satu diantaranya adalah penduduk pribumi, yaitu Raden Panji Margono, adipati Lasem 1714-1727

Bagian depan kelenteng Gie Yong Bio. Sama seperti di Kelenteng Cu An Kiong, disini pun dindingnya dipenuhi oleh lukisan kuno dengan tinta bak
Lukisan dinding dengan tinta bak yang usianya sudah ratusan tahun :")

Sebuah meja altar di dalam Gie Yong Bio
Beberapa lampion di dalam kelenteng, ada juga lampu gantung bergaya kolonial.
Lukisan dinding timbul bergambar naga dan macan terletak di depan kelenteng

Meja altar Raden Panji Margono. Ini pertama kalinya saya melihat patung pribumi berpakaian Jawa lengkap di dalam kelenteng.Konon katanya, hanya disinilah satu-satunya kelenteng di Indonesia yang didalamnya terdapat kongco  (dewa suci dimuliakan) orang pribumi. Altar ini dibangun tersendiri & terpisah dari altar yang lain, tapi masih dalam satu kesatuan bangunan kelenteng. Ini adalah bukti nyata relasi yang terjalin baik antara orang pribumi dengan orang Tionghoa di Lasem

Batik tulis Lasem. Sebagai salah satu kain penutup meja altar di kelenteng Gie Yong Bio

Sepulang dari Lasem, saya melalui jalan alternatif yang berbeda daripada saat awal berangkat dari Semarang. Sepanjang perjalanan disuguhi pemandangan seperti ini di kedua sisi jalan :) Sangat kontras dengan Jalan raya di sepanjang Pantura yang didominasi truk2 besar penyumbang polusi. hahahha


Setelah melewati jalan yang berliku-liku dengan diapit pepohonan karet yang rapat di kedua sisinya, maka akan bertemu bukit kapur di sebuah ruas jalan yang dikelilingi kompleks persawahan. Ini bukit gedeee banget :))














Benteng Portugis, akhirnya sampailah saya disini. Tujuan berikutnya selepas dari Lasem. Bangunan ini terletak diatas bukit. Untuk menuju ke lokasi, sudah dibangun jalan beraspal kecil yang melingkari bukit. Sebenarnya untuk kendaraan roda 4 hanya bisa sampai pada parkir depan. tapi karena kami datang tidak pada saat weekend jadi dapat kelonggaran. Dan benar saja, jalannya benar2 sempit, hanya muat untuk 1 mobil dengan jalan berkelok, menanjak, dan berlubang di beberapa titik. Errrrrr .... rada serem, tapi ya mau puter balik dimana. Akhirnya lanjut saja, sambil berdoa agar tidak berpapasan dengan kendaraan dari arah yang berlawanan. Sebenarnya benteng ini simple saja, dengan dinding kokoh melingkar dan beberapa meriam yang menghadap ke laut & Pulau Mandalika.









































Pulau mandalika
Pulau Mandalika dilihat dari Benteng Portugis
Akhirnya, selesai sudah perjalanan saya hari ini. menyusuri eksotika Lasem & menapaki salah satu wilayah penghujung Pulau Jawa di benteng Portugis. Sudah puas? Tentu saja belum, perjalanan ini hanya singkat. Masih banyak lokasi di Lasem yang ingin saya datangi suatu saat nanti :)

Sabtu, 12 Juli 2014

Sepotong cerita dari Lasem #1

Juli 12, 2014 1 Comments
Pernah mendengar atau bahkan mungkin sudah pernah berkunjung ke Lasem?
Iya. Lasem. Sebuah Kecamatan di pesisir Jawa. Terdengar asing mungkin ya? Lasem memang bukan tujuan wisata. Fungsinya lebih kepada jalur perlintasan dari Jawa tengah menuju Jawa Timur, begitu pula sebaliknya. Namanya tidak sepopuler kota lain di Jawa Tengah, seperti Semarang & Solo yang menyajikan paket lengkap pilihan wisata.

Saya sudah beberapa kali melewati Lasem, tapi untuk turun dan melihat rupa Lasem dari dekat ya baru kemarin. Sepanjang perjalanan dari Semarang menuju Lasem tidak banyak yang dapat saya ceritakan, selain perjumpaan dengan truk2 besar dengan berbagai macam muatan yang berpacu dengan kecepatan tinggi, ditambah panas terik penuh debu khas jalur Pantai Utara Jawa.

Singkat cerita, sampailah saya di Lasem ...
Kesan pertama saya, Lasem ibarat wanita tua yang mulai keriput, pergerakannya melambat, & mulai malas mempercantik diri. Namun, dibalik kerut wajah si tua, ada rentetan kisah panjang yang ingin dibagi. Dan untuk itulah saya datang kesini.
Selanjutnya biar foto2 ala kadarnya ini saja yang bercerita ....

Kelenteng Cu An Kiong. konon ini adalah kelenteng tertua di Lasem, bahkan mungkin di Jawa

Tampak depan Kelenteng. Ukiran di tiap sudutnya luar biasa indah, dan full dari atas sampai kebawah loh. keren ya :)



Setiap sudut dalam bangunan Kelenteng Cu An Kiong dipenuhi oleh ukir2an kayu yang detail. Bahkan di beberapa sisi dinding meja altar ada lukisan timbul berornamen naga & macan
Salah satu detail ornamen ukiran kayu yang dipahatkan di atas tiang peyangga bangunan Kelenteng

Selain ukiran, dinding dalam Kelenteng dipenuhi oleh lukisan dinding kotak2 seperti ini. Membentang dari kiri ke kanan dan atas ke bawah. Semacam mural mungkin ya. Kaya komik raksasa yang nempel di tembok. Mungkin antara 1 frame dengan frame yang lainnya punya makna dan cerita yang saling berkaitan. Sayangnya saya nggak paham makna lukisannya :(
Ini spot favorit saya. TEGEL. iya saya penggemar berat tegel :))

Tempat tinggal penjaga kelenteng, letaknya persis disamping bangunan kelenteng
Sayangnya papan petunjuk menuju kelenteng pada saat saya kesana telah roboh, dan belum diperbaiki. Hanya digeletakan di halaman depan kelenteng :(

Di dekat lokasi Kelenteng Cu An Kiong, terdapat satu rumah kuno yang cukup terkenal di Lasem.
Rumah Lawang Ombo / Rumah Candu. Konon jaman dulu, rumah ini menjadi salah satu jalur peredaran candu/opium menuju sungai Lasem untuk kemudian diedarkan ke berbagai daerah. Sayangnya pintu gerbangnya terkunci, mungkin untuk masuk kesana harus didampingi oleh rekan dari forum komunitas Lasem.

Di salah satu gang kampung Pecinan, ada bangunan yang sisi dinding bagian luarnya ditempel MMT seperti ini. Seperti benteng Tiongkok ya? diatasnya juga dicantumkan berbagai macam 'obyek wisata Lasem' dan beberapa makanan khas daerah tersebut. Cerdas ya idenya, paling nggak bisa ngasi itinerary singkat untuk teman2 yang datang ke Lasem. *temboknya mayan tinggi lo, kalo diliat sepintas nggak kaya tempelan MMT :p *
Salah satu bangunan kuno di sudut perkampungan pecinan Lasem. Ujung atapnya melengkung disisi kanan & kiri, khas arsitektur Tiongkok

Salah satu gang di Lasem. Bangunan dengan tembok2 tinggi mengapit jalan sempit ini

 
Pintu rumah kuno di Lasem kebanyakan berbentuk seperti ini.

Ini saya baru muter di satu jalan lo, tapi sudah dapat harta karun sebanyak ini. Saya jatuh cinta dengan Lasem ! Berkunjung ke Lasem, kalian seperti dinaikan ke mesin waktu, menyusuri tapak demi tapak sejarah. Menyentuh langsung rangkaian kenangan. Melongok masa lalu dari pintu2 kuno yang bertembok tinggi, seolah menyimpan rapi kenangan dari para pemiliknya.